Quantitative easing adalah kebijakan yang bertujuan untuk mendukung perekonomian negara yang sedang mengalami krisis dengan meningkatkan jumlah uang yang beredar. Bagaimana cara pelaksanaan quantitative easing dan seperti apa dampaknya? Yuk, simak lebih lanjut artikel ini.
Quantitative easing adalah kebijakan yang dilakukan oleh bank sentral suatu negara untuk meningkatkan jumlah uang yang beredar dengan membeli aset atau surat berharga dari bank komersial atau institusi swasta. Penerapan kebijakan quantitative easing ini diharapkan dapat mendorong masyarakat untuk melakukan pengeluaran atau pembelian, sehingga berdampak kepada perputaran uang yang lebih aktif dan menghidupkan kembali roda ekonomi.
Di Indonesia, penerapan quantitative easing melibatkan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang melakukan pembelian surat berharga dari pasar sekunder. Bank Indonesia biasanya membeli obligasi negara atau surat utang korporasi dari bank-bank komersial atau investor swasta. Melalui langkah ini, bank sentral berusaha meningkatkan likuiditas di pasar dan merangsang penurunan suku bunga, sehingga masyarakat dan perusahaan didorong untuk melakukan investasi dan konsumsi.
Perbedaan Antara Quantitative Easing dan Quantitative Tightening
Perbedaan mendasar antara quantitative easing dan quantitative tightening terletak pada tujuan kebijakan keuangan yang diambil oleh bank sentral. Quantitative easing dilakukan ketika bank sentral ingin meningkatkan jumlah uang yang beredar di pasar, sementara quantitative tightening dilakukan ketika bank sentral ingin mengurangi jumlah uang yang beredar.
Pada quantitative tightening, bank sentral akan menjual aset atau surat berharga yang dimilikinya. Tujuannya adalah untuk mengurangi likuiditas di pasar dan meningkatkan suku bunga. Tindakan ini biasanya diterapkan ketika perekonomian mengalami kelebihan likuiditas atau inflasi yang meningkat, sehingga diperlukan upaya untuk mengendalikan pertumbuhan ekonomi yang berlebihan.
Dengan pemahaman yang lebih baik tentang quantitative easing, penerapannya di Indonesia, dan perbedaannya dengan quantitative tightening, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih luas mengenai kondisi ekonomi Tanah Air.
Jika terjadi krisis ekonomi di suatu negara, masyarakat cenderung akan mengurangi pengeluaran mereka, yang berdampak negatif pada tingkat konsumsi yang rendah. Rendahnya tingkat konsumsi masyarakat dapat mengakibatkan kesulitan bagi perekonomian nasional karena perputaran uang dalam berbagai usaha dan investasi menjadi rendah karena masyarakat lebih memilih menyimpan uang mereka.
Oleh sebab itu untuk merangsang tingkat konsumsi masyarakat saat terjadi krisis ekonomi, pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang memberikan kelonggaran kepada masyarakat melalui kebijakan moneter konvensional dan non-konvensional seperti quantitative easing (QE).
Penerapan quantitative easing dilakukan apabila kebijakan moneter konvensional terbukti tidak efektif. Beberapa bentuk instrumen kebijakan moneter konvensional meliputi penyesuaian tingkat suku bunga, cadangan giro wajib minimum, dan operasi pasar terbuka.
Diharapkan bahwa dengan menerapkan kebijakan QE, perputaran uang akan meningkat dan hal ini dapat menjaga atau bahkan meningkatkan basis moneter, yaitu peredaran uang (money supply) di masyarakat.
Ketika terjadi krisis ekonomi di suatu negara, masyarakat cenderung mengurangi pengeluaran dan memilih untuk memasukkan uang mereka ke dalam tabungan untuk menghadapi situasi tersebut. Kebijakan moneter pun diterapkan oleh pemerintah melalui bank sentralnya guna merangsang perekonomian agar perekonomian negara dapat bisa kembali optimal. Hal ini juga terjadi di beberapa negara seperti yang diuraikan di bawah ini:
Quantitative easing (QE) dimulai di Jepang saat krisis ekonomi Asia pada tahun 1995-1998. Pada masa itu, Bank of Japan mengeluarkan uang sebesar 50,8 triliun yen untuk merangsang perekonomian. Meskipun pada saat itu kebijakan ini tidak secara langsung disebut QE, namun langkah tersebut membantu sektor perbankan dan melibatkan pembelian triliunan yen dalam surat berharga komersial. Kebijakan QE resmi pertama kali dilakukan oleh Bank of Japan pada tahun 2001 untuk melawan deflasi yang terjadi di Jepang.
Di negara maju lainnya, Federal Reserve (The Fed) Amerika Serikat menerapkan kebijakan QE sebanyak tiga kali selama krisis keuangan global dari tahun 2008 hingga 2012 dimana The Fed membeli obligasi pemerintah AS dan surat utang hipotek.
Meskipun dampaknya tidak langsung signifikan, namun kebijakan ini berhasil memberikan sentuhan positif pada pasar perumahan yang mulai pulih perlahan. Tentu saja, The Fed tidak ingin memberikan stimulus secara terus-menerus, karena terlalu banyak uang yang beredar dapat menyebabkan inflasi yang tak terkendali, bahkan bisa berujung pada stagflasi. Oleh karena itu, The Fed mulai mengurangi stimulus dengan mengurangi pembelian obligasi secara bertahap, yang dikenal sebagai tapering off.
Kemudian, setelah melihat perbaikan ekonomi Amerika Serikat, meskipun belum diketahui secara pasti seberapa besar dampak quantitative easing, Bank Sentral Amerika Serikat mulai menjual obligasi pemerintah AS dan surat utang hipotek secara bertahap mulai tahun 2018 hingga 2019. Kegiatan ini dikenal sebagai quantitative tightening (QT), yang merupakan kebalikan dari quantitative easing.
Jika quantitative easing bertujuan untuk meningkatkan peredaran uang, quantitative tightening adalah kebijakan moneter bank sentral untuk mengurangi peredaran uang yang beredar. Dengan demikian, quantitative tightening dan dampaknya terhadap suatu negara bertujuan untuk mengembalikan neraca bank sentral ke keadaan normal.
Namun, perlu dicatat bahwa kebijakan QE dan QT tidak secara langsung mengatasi krisis dan resesi yang terjadi di negara-negara tersebut. Namun, kebijakan ini secara perlahan mampu merangsang dan menghidupkan kembali aktivitas perekonomian negara dari kondisi yang suram.
Pernahkah Quantitative Easing (QE) terjadi di Indonesia?
Sebagai bentuk upaya pemulihan ekonomi di tengah pandemi, Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral di Indonesia pernah menerapkan kebijakan quantitative easing pada awal tahun 2020 hingga Agustus 2021. Langkah ini diambil untuk membantu dan mendorong pertumbuhan perekonomian nasional, terutama sektor-sektor usaha seperti Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang sangat terdampak oleh pandemi COVID-19.
Bank Indonesia (BI) melakukan kebijakan QE dengan memberikan injeksi likuiditas kepada sektor perbankan. Hal ini sejalan dengan tujuan quantitative easing, yaitu meningkatkan jumlah uang yang beredar sehingga membantu pergerakan ekonomi. Dampaknya terlihat dari pertumbuhan kredit perbankan yang mengalami peningkatan sehingga dapat diinterpretasikan sebagai tanda pemulihan ekonomi.
Selain itu, Bank Indonesia (BI) juga melakukan quantitative easing melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) untuk mendukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Langkah ini bertujuan untuk memberikan dukungan kepada pemerintah dalam menjalankan kebijakan fiskal dan memperkuat stabilitas ekonomi nasional di tengah kondisi Covid-19.
Tidak hanya itu, BI juga mendorong penggunaan QRIS (QR Indonesia Standar) untuk mempercepat digitalisasi pembayaran dan mendukung tren konsumsi masyarakat yang semakin beralih ke belanja secara daring.
Dengan kebijakan quantitative easing dan langkah-langkah lainnya, Bank Indonesia berupaya untuk memulihkan ekonomi Indonesia dan memastikan stabilitas keuangan dalam menghadapi tantangan yang dihadapi selama pandemi ini.
Berdasarkan definisinya, maka dapat disimpulkan tujuan quantitative easing adalah menjaga perputaran uang dengan meningkatkan jumlah uang yang beredar. Tingginya jumlah uang di masyarakat dan bisnis diharapkan dapat mendorong aktivitas konsumsi dan investasi.
Terjaganya tingkat konsumsi dan investasi dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil merupakan faktor penting dalam menjaga perekonomian negara. Aktivitas ekonomi terus berlangsung dengan adanya transaksi jual-beli di pasar serta kelangsungan investasi. Tujuan dari kebijakan moneter adalah untuk menjaga pasokan uang negara, dan quantitative easing berperan dalam mencapai tujuan tersebut.
Selain itu, quantitative easing juga memiliki beberapa dampak lain sebagai berikut:
Lembaga dan pemerintah selalu berupaya menjaga perekonomian Indonesia sebagai bagian dari antisipasi agar tidak terjatuh terlalu dalam dalam resesi yang mungkin akan datang. Banyak pakar yang telah mengindikasikan bahwa resesi sudah pasti akan datang, bahkan beberapa dampaknya sudah mulai terasa.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempersiapkan dana pribadi, seperti dana darurat, aset, dan investasi di sektor yang disarankan oleh para profesional. Mari kita siapkan keuangan kita sejak dini agar dapat bertahan dari kemungkinan resesi di masa depan.